Oktober 04, 2012

Konservasi Penyu di Sangalaki 
Salah Kelola

TANJUNG REDEB, Sudah lebih dari satu minggu setelah peristiwa pengusiran warga Derawan terhadap petugas konservasi di Pulau Sangalaki. Namun hingga kini masih belum ada titik terang terkait penyelesaiannya. 

Camat Pulau Derawan, Zulfikar saat ditemuiTribun News Network seusai menghadiri Rapat Koordinasi bersama Pemkab Berau ,membenarkan pihaknya telah diminta menjadi fasilitator dalam penyelesaian sengketa pengelolaan pulau tersebut.

Penyu Hijau yang naik ke Pulau Sangalaki
 untuk bertelur
“Sekarang Pulau Sangalaki sudah diamankan oleh dua orang petugas kepolisian dari Polsek Tanjung Batu,” ungkapnya, Senin (1/9). Meski demikian, hingga kini masih belum ada aktivitas konservasi penyu hijau dan penyu sisik yang masuk dalam kategori hewan langka dan dilindungi. “Karena permintaan warga memang seperti itu, warga menuntut agar pulau itu dikosongkan,” jelasnya.

Menurut Zulfikar, warga menuntut untuk dilibatkan dalam pengelolaan Pulau Sangalaki, termasuk dalam konservasi penyu. “Kenapa orang lain yang mengelola? Kenapa bukan warga Derawan? Dulu waktu dikelola oleh masyarakat jauh lebih berhasil,” tuturnya.

Zulfikar mengklaim, ketika masih dikelola warga, peluang hidup penyu jauh lebih tinggi dibanding saat dikelola oleh BKSDA dan LSM. “Kalau peluang hidup penyu yang dikelola  BKSDA hanya seribu banding satu, sedangkan saat dikelola oleh warga peluangnya 100 banding 20,” ungkapnya.

Ketimpangan perbandingan tersebut, kata Zulfikar, dikarenakan pada saat dikelola oleh warga, penyu baru dilepas setelah berusia minimal 6 bulan, sehingga penyu sudah cukup kuat untuk bertahan di samudera terbuka. “Kalau masih berupa tukik (bayi penyu) sangat rentan, mereka (tukik) diserang oleh predator seperti burung dan ikan,” kata Zulfikar. Pihaknya kembali berharap agar BKSDA maupun pemerintah pusat bersama Pemkab Berau  dan masyarakat dapat terlibat dalam pengelolaan Pulau Sangalaki dan konservasi penyu.

ementara itu, Kabag Humas dan Protokol Pemkab Berau, Mappasikra Mappasaleng kepada Tribun News Network membenarkan, sekitar 10 tahun yang lalu, masyarakat ikut terlibat dalam konservasi penyu. “Penyu-penyu baru dilepas setelah berusia enam bulan, sudah cukup besar dan mampu bertahan dari serangan burung dan ikan,” ungkapnya.

Mappasikra menambahkan, saat masih ditangani oleh warga, penyu tersebut dipelihara dan diberi makan, setelah 6 bulan, Pemkab Berau memberikan pengganti biaya pemeliharaan penyu kepada masyarakat. 
Tukik_GEAFRY_NECOLSEN.jpg
""Tribunkaltim/Geafry""
Seekor tukik yang baru saja menetas langsung dilepas ke lautan terbuka, tukik yang baru saja menetas memiliki tempurung yang lunak sehingga kerap dimangsa oleh burung saat berada di permukaan laut dan dimangsa ikan.
Berbeda dengan cara yang dilakukan masyarakat, BKSDA dan  LSM langsung melepaskan penyu ke laut setelah menetas. Tukik dilepaskan begitu saja saat tempurung penyu secara fisik masih lunak. Ketua Yayasan Penyu Berau beberapa waktu lalu kepada Tribun News Network mengakui, Tukik sangat rentan dengan predator alami baik saat masih berupa telur maupun sesaat setelah dilepas ke laut.

“Tukik punya predator alami, seperti burung dan ikan. Saat dilepas ke laut tukik bisa saja dimangsa burung atau ikan,” kata Ahang Moord.

Dari pengamatan Tribun, sudah menjadi tradisi saat ada kunjungan pejabat tinggi negara, melepaskan ratusan tukik ke lautan luar dengan berbagai resiko.

Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Kaltim mengatakan, tukik dilepas sesaat setelah menetas. “Setelah menetastukik langsung dilepas ke laut, biasanya sore hari,” ungkapnya. Atas dasar itu, Pemkab dan masyarakat Berau menilai, BKSDA dan LSM telah salah mengelola konservasi penyu sehingga anak-anak penyu justru terancam saat dilepas ke laut.

Penyu Dilindungi Tidak untuk Dipelihara

KETUA Yayasan Penyu Berau (YPB) membantah bahwa konservasi penyu telah salah kelola. Ahang Moord saat ditemui Tribun di ruang kerjanya belum lama ini memaparkan, peluang keberhasilan telur penyu untuk menetas mencapai  82 hingga 90 persen.

Ada dua metode yang digunakan dalam proses penetasan telur penyu, yakni alami dan semi alami. Yang dimaksud alami, telur penyu yang benar-benar aman dari ombak maupun serangan predator tidak direlokasi hingga menetas.

Sedangkan metode semi alami dilakukan dengan cara merelokasi telur dari ombak maupun predator alami seperti burung dan biawak.

“Kami upayakan penetasan telur sealami mungkin, tidak dibantu dengan penghangatan menggunakan lampu atau alat lain,” kata Ahang.
Di daratan Pulau Sangalaki seluas 15 hektar tersebut, dibagi menjadi beberapa sektor. Masing-masing sektor, menurut Ahang memiliki persentase penetasan yang berbeda.

“Secara global dari sektor-sektor tersebut peluang menetasnya mencapai 90 persen,” ungkapnya. Meski demikian, setelah telur tersebut menetas menjadi tukik, tukik langsung dilepas ke lutan bebas.

Ahang mengakui, tukik-tukik tersebut segera langsung menghadapi ancaman begitu dilepas ke laut, namun menuutnya hal tersebut merupakan hal yang wajar dalam rantai makanan.

Mengapa tidak dibudidayakan agar peluang hidup penyu lebih besar? “Saat ini belum bisa dilakukan metode pembudidayaan, karena penyu merupakan hewan liar yang dilindungi tidak bisa dipelihara,” jawabnya.

Penulis : Geafry Necolsen
Editor : Reza Rasyid Umar
Sumber : Tribun Kaltim Senin, 1 Oktober

Tidak ada komentar:

Posting Komentar